Minggu, 06 Juni 2010

Kapitalisme Bagi Naomi Klein

Ketika pertama kali Perang Irak 2003 meletus dan Amerika beserta sekutunya mulai menginvasi Irak, Naomi Klein sedang berada di Argentina menyelesaikan film dokumenter “The Take”. Tapi pikiran dan perhatiannya tak lepas dari kemelut di Irak tersebut. Segera sesudah Perang Irak berakhir, Klein datang ke Irak dalam kapasitasnya sebagai seorang Jurnalis. Yang menarik, Klein melihat perang ini dari sisi ekonomi politik yang lain, perang ini adalah bencana yang ditimbulkan oleh kapitalisme, disaster capitalism. Dan mulailah Klein menulis buku yang tersohor tersebut: “The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism”.
Naomi Klein, lahir 8 Mei 1970, merupakan jurnalis Kanada yang terkenal lantang dalam meneriakkan kritisi terhadap korporasi global. Klein mulai dikenal ketika buku “No Logo” terbit tahun 2000 dengan menyentil korporasi global serta perilaku konsumen yang “makan merk”. Dua tahun berikutnya, lahirlah “Fences and Windows: Dispatches from the Front Lines of the Globalization Debate” yang merupakan kumpulan artikel dan pidatonya di berbagai forum masih tetap dalam tema besar: anti korporasi global. Dan bukunya yang ketiga: “The Shock Doctrine”, terbit 4 September 2007, semakin mengukuhkan namanya secara luas serta semakin memberikan pencerahan terhadap bahaya kapitalisme global.
Kembali kepada Perang Irak 2003, Klein melihat konsekuensi ekonomi yang terlihat dari kejadian ini adalah menjadikan Irak sebagai pasar yang sangat bebas, harta karun yang dibiarkan begitu saja tergeletak di tengah jalan dan menunggu para perampok untuk mengambilnya. Perampokan, robbery, itulah kata yang bagi Klein tepat untuk melukiskan manuver kapitalisme ini. Situasi vacum of power yang ternyata berujung anarkhi. Klein menilai bahwa usaha menciptakan Irak sebagai tempat usaha paling ideal bagi kapitalisme berakhir anti-klimaks. Turning point terjadi ketika tidak terjadi kestabilan seperti yang diskenariokan. “Kegagalan yang tak pernah saya temui sebelumnya”, begitu Klein menilai kegagalan ini.
Beberapa contoh shock doctrine yang dicatat Klein adalah peristiwa Tsunami di Sri Lanka, Katrina di New Orleans, Cili di bawah rezim Augusto Pinochet, Peristiwa Tiananmen 1989, Perang Falkland 1982 antara Inggris dan Argentina, serbuan NATO di Beograd 1999, dan tentu saja Perang Irak 2003. Salah satu shock yang sempat kita alami di Indonesia tentu krisis ekonomi dan moneter sejak tahun 1997 dimana hasilnya adalah persis seperti apa yang ditulis Klein: privatisasi badan usaha milik negara, munculnya rezim perdagangan bebas, serbuan investor asing, dan berkurangnya subsidi-subsidi negara ke rakyat.
Berbagai shock doctrine ini berujung pada satu tesis yang merupakan kesimpulan Naomi Klein tentang apa itu kapitalisme. Shock atau guncangan-guncangan diperlukan untuk memperkuat kembali (reinforcement) sistem kapitalisme itu sendiri. Shock merupakan keniscayaan untuk “memajukan” sistem kapitalisme itu sendiri.
Naomi Klein dalam buku ”Shock Doctrine” sangat terinspirasi oleh Milton Friedman, mahaguru dari pasar bebas yang meninggal pada November 2006, yang berkata: “Only a crisis-actual or perceived- produces real change. When that crisis occurs, the action that are taken depends on the idea that are lying around”. Dan jelas yang dimaksud ide tersebut adalah kapitalisme itu sendiri. Inilah modus operandi kapitalisme a la Friedman seperti yang ditulis Klein dalam “Shock Doctrine”: “I discovered that idea of exploiting crisis and disaster has been the modus operandi of Milton Friedman’s movement from the very beginning-this fundamentalist form of capitalism has always needed disasters to advance”.
Yang perlu kita pelajari adalah apa yang selalu disampaikan Klein bahwa kita memerlukan suatu daya yang bernama “shock resistant”, kemampuan untuk bertahan sekaligus melawan guncangan-guncangan kapitalisme tersebut. Bukan proses damai dan perang ide yang terjadi ketika kekuatan pasar bebas menunjukkan keperkasaannya, tapi benar-benar perang dan guncangan-guncangan lain yang diperlukan. Setidaknya itu yang dilihat Klein dalam Perang Irak dimana berbagai macam guncangan mengkondisikan Irak sebagai sebuah “torture lab”.
Daya tahan terhadap guncangan-guncangan kapitalisme ini tentu memerlukan infrastruktur dan penggerak utamanya. Manusia sebagai subyek harus benar-benar menjadi free people, suatu keadaan kontradiksi dengan free market. Sulit memang, tapi bukannya tanpa harapan. Klein mencontohkan bagaimana semangat masyarakat Amerika Latin dalam melawan segala bentuk eksploitasi pasar bebas. Menegakkan kedaulatan sekaligus kemandirian bangsa-bangsa Amerika Latin dari hegemoni AS dan sederet perusahaan multinasional merupakan bentuk konkrit perlawanan tersebut. Dan bentuk resistensi paling menonjol dari berbagai guncangan kapitalisme adalah penolakan mereka terhadap segala bentuk manifestasi kehadiran lembaga keuangan internasional yang berorientasi ke Washington. The Bolivian Alternative for the Americas (ALBA) adalah proyek mercusuar sekaligus berdiri sebagai oposan free trade area yang diiniasi Amerika Serikat dan segenap korporasi global tentunya.
Inilah pentingnya pemahaman terhadap mekanisme dari berbagai shock doctrine. Premis yang diajukan Klein meyakini, bahwa semakin orang mengerti, dan ketika pemahaman ini sudah diterima luas dalam komunitas, maka semakin sulit kapitalisme bisa mengguncang masyarakat, dan semakin sulit masyarakat dibuat linglung oleh shock therapy apapun.
Source from savindievoice Posted on

Tidak ada komentar: