Jumat, 25 Juni 2010

ACEH GREEN DAN REJIM DAGANG KARBON

Aceh hijau, agaknya isu ini yang selalu terdengar hangat dalam beberapa bulan terakhir di provinsi paling barat indonesia ini. Aceh dengan luas hutan sekitar 3 juta hektar area, cukup potensial untuk dijadikan sebagai salah satu paru-paru dunia terkait tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca. Alasan ini juga yang melatar belakangi Gubernur Irwandi Yusuf menggagas konsep Aceh Green Vision. Niat agar Aceh ikut berperan serta dalam upaya penyelamatan bumi dari ancaman perubahan iklim patut untuk didukung. Karena tidak hanya sebagai bentuk solidaritas penduduk bumi terhadap persoalan global, lebih dari itu penyelamatan lingkungan merupakan sebuah kewajiban ummat manusia termasuk masyarakat Aceh.

Tiga tahun berselang setelah konsep Aceh green dipresentasikan pada pertemuan UNFCC nusa dua bali, implementasi program ini masih terkesan “melangit”. Pembangunan ekonomi dengan pemanfaatan SDA secara berkelanjutan yang menjadi dasar program ini agaknya masih terkesan “jauh panggang dari api”. Seperti fenomena gunung es, agaknya aceh green merupakan program yang berjalan diatas tumpukan masalah yang menggunung. Konversi hutan yang menjadi kompensasi ilegal loging merupakan wujud masalah yang semakin lama akan meruntuhkan pondasi hak-hak ulayat terhadap hutan. Kran investasi dibuka lebar pada sektor perkebunan sebagai bentuk pembangunan ekonomi dengan konsesi lahan. Sementara hingga saat ini, regulasi terkait investasi tersebut belum ada. Berbagai persoalan substansial bermunculan dari wujud implementasi “investasi hijau” ini. Penipisan sumber air, konflik hewan dan manusia serta dampak-dampak lain merupakan bukti bahwa sesungguhnya ditingkat masyarakat kecil, implementasi aceh green masih bermasalah. Disisi lain, implementasi aturan loging yang kurang konsisten juga menjadi masalah besar. Moratorium logging tidak berlaku bagi beberapa oknum pribadi maupun institusi yang kebal hukum. Meskipun terlihat absurd, realita ini terjadi di lapangan. Penebangan masih terus berlangsung di beberapa tempat meskipun ribuan penjaga hutan direkrut oleh pemerintah Aceh untuk mencegahnya. Melihat realita ini pertanyaannya kemudian adalah, apakah konsep Aceh green muncul dari perencanaan yang matang?

Berbagai kejadian akan memberi kesan bahwa Aceh green di gagas merupakan langkah untuk memanfaatkan isu global tentang perubahan iklim. Belum kita berbicara tentang pelibatan partisipasi masyarakat pinggir hutan sebagai ujung tombak, bahkan sosialisasinya pun masih setengah-setengah. Mengingat insiden pertemuan forum GCF (governor’s climate and forest) beberapa waktu lalu semakin menunjukkan fakta bahwa konsep ini sama sekali tidak menyentuh masyarakat akar rumput. REDD yang menjadi bingkai proyek-proyek transaksi karbon sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat. Jika memang penjualan karbon merupakan goal’s dari investasi hijau, seharusnya masyarakat mengetahui secara gamblang sistem dan mekanismenya dalam konteks aceh green. Hal ini penting, karena proyek REDD tidak hanya berlaku pada pemerintah, namun juga pada korporasi yang menerapkan sistem Carbon Reduction pada operasi bisnisnya. Artinya, REDD tidak hanya dilirik oleh pemerintah tapi juga LSM dan perusahaan swasta karena ada dana besar di dalamnya.

Tentunya kita tidak ingin lagi masyarakat aceh menjadi korban investasi sumberdaya alam yang tidak bertanggung jawab. Para pebisnis akan melihat perdagangan karbon di aceh sebagai lahan basah untuk meraup keuntungan. Rejim investasi perdagangan karbon akan menjadi penguasa dari konsep mulia yang awalnya kita gagas. Lagi-lagi masyarakat akan menjadi korban kepentingan para jargon-jargon investasi. Membangun perekonomian aceh merupakan tujuan bersama yang mutlak harus dilakukan. Namun membangun “sesaat” perekonomian aceh merupakan kekeliruan yang harus diperbaiki sejak saat ini. Jika bayangan aceh green akan menuju pada sejarah kelam investasi aceh dahulu, maka ditakutkan kemudian ini akan menjadi cikal bakal terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak masyarakat. Kita akan siap, manakala setiap bagian dari stakeholders memahami konsep implementasi aceh green. Sehingga, distorsi paradigma seperti bantuan negara maju tanpa syarat, upah menjaga hutan hingga penjualan hutan tidak merebak dan menimbulkan konflik. Membangun trust dengan pelibatan masyarakat secara partisipatif dari proses perencanaan merupakan hal terpenting guna memastikan agar konsep ini benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Pembenahan birokrasi yang disiplin dan profesional juga menjadi konsekwensi penting untuk dilakukan segera. Karena tidak menutup kemungkinan akan ada elite-elite yang tergoda untuk “merebut” hutan yang dikelola secara turun temurun oleh masyarakat lokal. Semoga dengan berbagai kajian yang saat ini sedang dilakukan dapat mengembalikan esensi dasar konsep aceh green, yaitu untuk membangun ekonomi aceh melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat.

Minggu, 06 Juni 2010

Kapitalisme Bagi Naomi Klein

Ketika pertama kali Perang Irak 2003 meletus dan Amerika beserta sekutunya mulai menginvasi Irak, Naomi Klein sedang berada di Argentina menyelesaikan film dokumenter “The Take”. Tapi pikiran dan perhatiannya tak lepas dari kemelut di Irak tersebut. Segera sesudah Perang Irak berakhir, Klein datang ke Irak dalam kapasitasnya sebagai seorang Jurnalis. Yang menarik, Klein melihat perang ini dari sisi ekonomi politik yang lain, perang ini adalah bencana yang ditimbulkan oleh kapitalisme, disaster capitalism. Dan mulailah Klein menulis buku yang tersohor tersebut: “The Shock Doctrine, The Rise of Disaster Capitalism”.
Naomi Klein, lahir 8 Mei 1970, merupakan jurnalis Kanada yang terkenal lantang dalam meneriakkan kritisi terhadap korporasi global. Klein mulai dikenal ketika buku “No Logo” terbit tahun 2000 dengan menyentil korporasi global serta perilaku konsumen yang “makan merk”. Dua tahun berikutnya, lahirlah “Fences and Windows: Dispatches from the Front Lines of the Globalization Debate” yang merupakan kumpulan artikel dan pidatonya di berbagai forum masih tetap dalam tema besar: anti korporasi global. Dan bukunya yang ketiga: “The Shock Doctrine”, terbit 4 September 2007, semakin mengukuhkan namanya secara luas serta semakin memberikan pencerahan terhadap bahaya kapitalisme global.
Kembali kepada Perang Irak 2003, Klein melihat konsekuensi ekonomi yang terlihat dari kejadian ini adalah menjadikan Irak sebagai pasar yang sangat bebas, harta karun yang dibiarkan begitu saja tergeletak di tengah jalan dan menunggu para perampok untuk mengambilnya. Perampokan, robbery, itulah kata yang bagi Klein tepat untuk melukiskan manuver kapitalisme ini. Situasi vacum of power yang ternyata berujung anarkhi. Klein menilai bahwa usaha menciptakan Irak sebagai tempat usaha paling ideal bagi kapitalisme berakhir anti-klimaks. Turning point terjadi ketika tidak terjadi kestabilan seperti yang diskenariokan. “Kegagalan yang tak pernah saya temui sebelumnya”, begitu Klein menilai kegagalan ini.
Beberapa contoh shock doctrine yang dicatat Klein adalah peristiwa Tsunami di Sri Lanka, Katrina di New Orleans, Cili di bawah rezim Augusto Pinochet, Peristiwa Tiananmen 1989, Perang Falkland 1982 antara Inggris dan Argentina, serbuan NATO di Beograd 1999, dan tentu saja Perang Irak 2003. Salah satu shock yang sempat kita alami di Indonesia tentu krisis ekonomi dan moneter sejak tahun 1997 dimana hasilnya adalah persis seperti apa yang ditulis Klein: privatisasi badan usaha milik negara, munculnya rezim perdagangan bebas, serbuan investor asing, dan berkurangnya subsidi-subsidi negara ke rakyat.
Berbagai shock doctrine ini berujung pada satu tesis yang merupakan kesimpulan Naomi Klein tentang apa itu kapitalisme. Shock atau guncangan-guncangan diperlukan untuk memperkuat kembali (reinforcement) sistem kapitalisme itu sendiri. Shock merupakan keniscayaan untuk “memajukan” sistem kapitalisme itu sendiri.
Naomi Klein dalam buku ”Shock Doctrine” sangat terinspirasi oleh Milton Friedman, mahaguru dari pasar bebas yang meninggal pada November 2006, yang berkata: “Only a crisis-actual or perceived- produces real change. When that crisis occurs, the action that are taken depends on the idea that are lying around”. Dan jelas yang dimaksud ide tersebut adalah kapitalisme itu sendiri. Inilah modus operandi kapitalisme a la Friedman seperti yang ditulis Klein dalam “Shock Doctrine”: “I discovered that idea of exploiting crisis and disaster has been the modus operandi of Milton Friedman’s movement from the very beginning-this fundamentalist form of capitalism has always needed disasters to advance”.
Yang perlu kita pelajari adalah apa yang selalu disampaikan Klein bahwa kita memerlukan suatu daya yang bernama “shock resistant”, kemampuan untuk bertahan sekaligus melawan guncangan-guncangan kapitalisme tersebut. Bukan proses damai dan perang ide yang terjadi ketika kekuatan pasar bebas menunjukkan keperkasaannya, tapi benar-benar perang dan guncangan-guncangan lain yang diperlukan. Setidaknya itu yang dilihat Klein dalam Perang Irak dimana berbagai macam guncangan mengkondisikan Irak sebagai sebuah “torture lab”.
Daya tahan terhadap guncangan-guncangan kapitalisme ini tentu memerlukan infrastruktur dan penggerak utamanya. Manusia sebagai subyek harus benar-benar menjadi free people, suatu keadaan kontradiksi dengan free market. Sulit memang, tapi bukannya tanpa harapan. Klein mencontohkan bagaimana semangat masyarakat Amerika Latin dalam melawan segala bentuk eksploitasi pasar bebas. Menegakkan kedaulatan sekaligus kemandirian bangsa-bangsa Amerika Latin dari hegemoni AS dan sederet perusahaan multinasional merupakan bentuk konkrit perlawanan tersebut. Dan bentuk resistensi paling menonjol dari berbagai guncangan kapitalisme adalah penolakan mereka terhadap segala bentuk manifestasi kehadiran lembaga keuangan internasional yang berorientasi ke Washington. The Bolivian Alternative for the Americas (ALBA) adalah proyek mercusuar sekaligus berdiri sebagai oposan free trade area yang diiniasi Amerika Serikat dan segenap korporasi global tentunya.
Inilah pentingnya pemahaman terhadap mekanisme dari berbagai shock doctrine. Premis yang diajukan Klein meyakini, bahwa semakin orang mengerti, dan ketika pemahaman ini sudah diterima luas dalam komunitas, maka semakin sulit kapitalisme bisa mengguncang masyarakat, dan semakin sulit masyarakat dibuat linglung oleh shock therapy apapun.
Source from savindievoice Posted on