Rabu, 06 Agustus 2008

DEMAM INVESTASI DI ACEH

DEMAM INVESTASI DI ACEH

juni prananta

direktur eksekutif lembaga penerapan teknologi tepat guna JINGKI institute - Alumnus Teknik Kimia Universitas Malikussaleh

Investasi, agaknya suku kata ini menjadi sering didengungkan di aceh dalam beberapa tahun ini. Niatan pemerintah aceh dalam mewujudkan cita-cita pembangunan secara umum yaitu pertumbuhan outputs masyarakat, perluasan lapangan kerja serta pemerataan pendapatan memang dinilai baik dan patut untuk dihargai. Seiring dengan alur sejarah yang terjadi di aceh selama beberapa dekade kebelakang membuktikan bahwa iklim investasi di Aceh yang umumnya dimotivasi oleh penguasaan sektoral sumber daya alam aceh menjadikan provinsi ini miskin dan rawan konflik. Disini penulis mencoba melihat dari sisi yang berbeda dimana jika peluang investasi yang saat ini terbuka dan hampir tak terbendung oleh peraturan serta kebijakan yang jelas maka lambat laun ini akan berdampak buruk bagi rakyat Aceh. Jika kita mau mengingat sedikit latar belakang dari munculnya gejolak social di aceh salah satunya adalah tidak adanya pemerataan pendapatan dari hasil investasi asing ke bumi serambi mekah ini. Persoalan bermunculan dimana para investor bersama petinggi-petinggi pemerintahan (termasuk di daerah) saat itu sudah cukup puas menikmati hasil investasi dari sumber daya alam di Aceh. Tercatat saat itu perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi terhadap pengolahan gas diperut bumi Aceh termasuk pengolahan produk-produk turunannya saat ini sudah mulai hengkang dengan dari Aceh dengan record sebagai perusahaan dengan laba terbesar dipapan dunia. Exxon misalnya, dalam laporan pendapatannya pada tahun 2007 exxon mencatat keuntungan perusahaan sebesar US$ 40,6 milyar (modus aceh edisi juni 2008). Exxon juga tercatat sebagai salah satu jargon hidrokarbon asia yang dalam beberapa decade menguasai hidrokarbon Indonesia. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan yang terjadi di Aceh yang itu dilakukan secara terang-terangan di Aceh oleh perusahaan raksasa ini.

Apakah sejarah ini belum cukup menyadarkan pola pikir kita tentang persepsi investasi asing ? Puluhan ribu hektar lahan Aceh disinyalir akan menjadi lahan sawit yang modal pengelolaannya bersumber dari investasi asing. Pertanyaannya kemudian apakah ini benar-benar dapat menjawab permasalahan rakyat kecil atau malah mengulang sejarah hitam tentang investasi pengelolaan sumber daya alam di Aceh? Menurut Tokman, 1982 kegiatan produksi yang berproduktivitas tinggi telah menyaingi kegiatan produksi yang dengan produktivitas rendah yang di dominasi oleh masyarakat grass root. Sehingga terjadi structural heterogeneity akibat adanya perbedaan yang mencolok (kesenjangan) antar sector dan intrasektor produksi. Persaingan modal, human capital, akses serta technology knowledge menjadikan kesenjangan ini berdampak terhadap tatanan kehidupan social di Aceh nantinya. Dominasi sepihak terhadap beberapa capital utama ini lambat laun menjadi pemicu terhadap terjadinya konflik yang lagi-lagi akan menyengsarakan rakyat kecil.

Investasi dapat dilakukan apabila regulasi yang ditetapkan dalam kebijakan pemerintah Aceh jelas memihak pada rakyat kecil. Karena kedepannya lapangan investasi adalah sector pertanian maka pelibatan petani sebagai perencana dari konsep investasi tersebut sangat penting untuk dilakukan sehingga partsipasi petani sebagai stake holders dari kebijakan investasi ini akan menjadi acuan bagi pelaksanaan termasuk control usaha-usaha ini kedepannya. Jika ini tidak dilakukan maka dapat diprediksikan bahwa kita bersama saat ini menggiring Aceh kearah sejarah hitam yang pernah kita alami dahulu

ketimpangan sosial oleh PT Arun

saya ingin mengomentari pernyataan pihak PT arun yang menjadi perusahaan "kebanggaan" rakyat aceh tersebut.

memeng benar terjadi pro dan kontra mengenai kebijakan manajemen perusahaan tersebut tentang program CSR nya, namun memeng merupakan kenyataan bahwa selama ini program CSR yang dikelola oleh PT arun belum dapat memandirikan stake holders yang diikutkan dalam program tersebut. dana CSR disalurkan melalui lembaga-lembaga mitranya yang mereka menyalurkan bentuan tersebut dengan tidak tepat sasaran. mengenai bantahan bapak aknasio sabri mengenai sebenarnya arun tidak memiliki tanggung jawab terhadap community development terhadap radius wilayah operasi kilang tersebut. hal ini saya lihat sebagai tanggapan dari seseorang pemimpin yang lupa daratan setelah melihat lautan. apakah beliau tidak pernah melihat bagaimana ketimpangan sosial yang terjadi antara para orang kaya yang bekerja di perusahaan raksasa tersebut. dengan mata kepala saya melihat bagaimana ketimpangan sosial yang sangat mencolok antara orang-orang yang tinggal di kompleks perusahaan tersebut dengan orang-orang yang berada di luar pagar kompleks. saya sarankan agar jika bapak adalah seorang pemimpin maka datang dan lihatlah kemiskinan walaupun anda berasal dari sana.